Seperti udara
Kasih yang engkau
berikan
Tak mampu ku
membalas
Ibu.....
Bahkan sampai
saat aku menulis ini, aku masih nggak percaya kalau Ibu sudah tidak ada.
Sebenarnya udah lama banget pingin nulis ini. Tapi susah banget. Banyak sekali
yang ingin aku tulis. Sampai bingung mau mulai dari mana. Rasanya masih seperti
mimpi.
Oke, ini nggak
lebay. Di sini aku mau nulis apa yang aku mau. You know lah, it’s not easy to
be me RIGHT NOW. Mungkin banyak orang yang bilang, “Udah jangan sedih lagi. Semuanya sudah takdir. Ibumu sudah tenang di
sana”. Tapi kata-kata itu nggak bisa mengembalikan Ibuku lagi kan? Iya
mungkin aku masih belum percaya kalau memang seperti ini takdirnya. Tapi
semakin ke sini, aku sadar. Kalau aku terus-terusan kayak gini, nanti di alam
sana Ibu juga bakalan sedih.
Tidak mudah untuk
bangkit setelah kehilangan orang yang sudah mempertaruhkan nyawanya demi aku
ada di dunia ini. Ibu memang wanita yang kuat, baik hati, suka mengalah sama
orang (khususnya yang jahat sama Ibu), tidak pendendam. Iya Ibuku memang baik.
Selalu mengajarkan kalau jadi orang tidak boleh dendam pada siapa yang
menyakiti karena nanti ada balasannya sendiri.
“Tugas kita
kepada sesama adalah harus selalu berprasangka baik. Meski ada yang menyakiti
kita, usahakan jangan jadi pendendam. Jadilah orang baik, nanti kebaikan akan
menyelimuti kita. Jangan jadi jahat karena hanya akan menyulitkan hidupmu. Yang
penting baik saja sama orang, kalau orang itu memang nggak suka sama kita,
biarkan saja, itu urusannya sama Alloh”. Inilah kata-kata yang sering Ibu
lontaran padaku. Singkat tapi penuh makna. Iya, baru terasa banget ketika ibu
sudah tidak ada lagi.
12 Juli 2019
Pagi itu memang
tidak ada yang beda. Seperti biasa, Ibu selalu menggoreng kentang untukku.
Untuk bekal makan siangku. Aku makan kentang di jam makan siang agar Ibu
paginya nggak repot masak ini itu. Seperti biasa. Aku berangkat kerja.
Kebetulan aku nggak kost. Laju dari Jatinom – Jogja.
“Wes ya buk, aku
mangkat”
“Iya, ati-ati ya.
Bismillah”.
Hampir setiap aku
pamitan selalu kata-kata itu yang muncul. Sebelumnya memang ada yang aneh.
Kalau pagi aku pas berangkat, Ibu selalu mengantarku sampai depan rumah. Tapi
pagi itu tidak. Ibu hanya di dalam, tepatnya di sisi sebelah timur. Ini adalah
tempat aku ngeluarin motor. Biasanya ibu langsung nyusul sampai depan dan
ngliatin aku sampai berangkat. Akan
tetapi, Jumat pagi tanggal 12 Juli 2019 itu ibu memang tidak sampai keluar mengantarkanku.
Dan yang bikin
aku kaget emang pas pulang nyampai rumah, keadaan rumah masih gelap gulita.
Biasanya Ibu tidak mengunci pintu sebelah timur. Bahkan pintu rumah bagian
tengah juga dikunci. Kemudian aku telponlah, sayanya pulsa tidak mencukupi
karena ternyata pulsa telponku habis. Lalu aku keluar dan cari pulsa. Pikiranku
mulai nggak enak. Udah mikir macem-macem. Kalau Ibu pergi kok nggak ada sms
atau telpon? Biasanya kalau mau ke mana Ibu selalu sms. Mau pengajian dan
pulang kemaleman saja sms, takutnya aku ndak nyampe rumah kaget nggak ada
orang.
Setelah aku beli
pulsa, ternya ada Mas depan rumah yang tadi naruh Syukuran (ulang tahun anaknya, namanya Wijang. Wijang kalau sama Ibu udah deket
banget. Ibu gemes banget sama Wijang. Kalau main ke rumah suka diuyel-uyel sama Ibu)
dan bilang kalau pintu barat ternyata nggak dikunci. Lalu aku buru-buru masuk
ke dalam dan nyari Ibu. Lampunya gelap semua. Salah satu lampu aku nyalakan dan
aku menuju ke dalam. Sesampainya di tengah, aku sudah melihat Ibu tergeletak
jatuh di depan kamar mandi dengan muntahan yang sudah kering.
Aku langsung
Speechless. Teriak nggak jelas. Aku bingung mau gimana? Pikiranku udah kacau
banget. Pingin telpon ambulanlah inilah itulah. Sumpah. Nggak bisa dibayangkan.
Aku nggak nyangka bakalan melihat Ibu untuk terakhir kalinya dalam keadaan
jatuh. Yang aku sesalkan adalah, Kenapa aku nggak ada di samping Ibu di saat
saat terakhirnya. Lalu Ibu bagaimana pas jatuh? Yang aku lihat Ibu sudah tidak
sadar. Aku mau teriak-teriak juga nggak bakal bikin Ibu kembali. Sampai pada
akhirnya ada Bu Dokter yang bilang kalau Ibu sudah meninggal. “Mbak, Ibu sudah
nggak ada, yang sabar, yang Ikhlas ya”. Seketika aku nggak tau aku ngapain.
Rasanya aku nggak terima. Aku marah juga sama siapa.
Untuk aku sendiri
yang sudah melihat kejadian tersebut, terima kasih karena sudah mencoba tegar,
mencoba tabah dan mencoba Ikhlas. Meski sulit banget. Tapi aku harus menerima,
aku harus Ikhlas kalau semua memang milik Alloh dan bisa memanggilnya kapan
saja. Termasuk saat itu yang aku sendiri nggak nyangka bakalan kehilangan sosok
Ibu. Aku nyangka kalau ibu meninggal secepat itu. Banyak hal yang belum aku
lakukan untuk membahagiakan Ibu. Tapi setidaknya aku selalu mengajak Ibu makan
di luar kalau aku habis gajian. Meskipun hanya makanan sederhana, tapi Ibu udah
seneng banget.
Hal yang menjadi pengingat
Katanya, setiap
orang punya firasat kalau akan ditinggal orang terdekatnya. Kalau aku lebih ke
hal-hal tertentu. Soalnya aku setiap hari memang selalu bersama Ibu, jadi aku lebih
mengingat kembali apa saja saat-saat terakhir bersama Ibu yang seolah menunjukkan
kalau Ibu sudah ingin berpulang.
Aku inget banget,
Kamis malam Ibu bikinin aku teh manis banget. Pokoknya tehnya rasanya beda.
Entah Cuma perasaanku atau memang Itu teh terakhir Ibu untukku. Rasanya enak
banget. Setiap malam Jumat, Masjid samping rumah selalu ada pengajian dari
Magrib sampai Isya’. Kebetulan hari itu Ibu ada jatah buat menyediakan teh
manis untuk semuanya. Sepulang kerja, Ibu bilang sama aku,
“Nyoh...teh e
ndang dimimik, mumpung iseh anget”. Kata Ibu sambil ngasih segelas teh untukku yang
baru saja masuk rumah. Aku masih pakai helm. Lalu aku buka helmku dan
menyeruput tehnya,
“Uenakke
reeek.....enak tenan e buk teh e. Legine manteb banget”. kataku seperti biasa
yang selalu bilang begitu sama Ibu. Lalu kami ngobrol ngalur ngidul seperti
biasa.
“Aku bar iki arep
pengajian yo”. Kata Ibu.
“Nggak usah aja
Bu, nanti kalau jalan jauh ndak kakinya sakit lagi lho”. Pintaku yang kasian
kalau nanti Ibu ngleluh kakinya pegel-pegel lagi.
“Halah ora lah.
Cuma di situ kok Nggak jauh. Aku ya pingin kumpul konco”. Pinta Ibu yang pingin
banget berangkat.
Akhirnya Ibu
berangkat pengajian. Biasanya memang Ibu agak mikir dua kali kalau aku udah
bilang, jangan. Tapi aku bukannya nggak ngebolehin Ibu buat pengajian lho. Aku
Cuma nggak mau lihat Ibu ngeluh kakinya pegel-pegel tiap pulang pengajian. Tapi entah malam itu
aku membolehkannya. Dan tau nggak? Malam itu ibu memakai Tas yang aku beliin.
Aku baru ngeh kalau pas pulang pengajian, Ibu bilang, “Tasnya aku pakai buat
pengajian. Buat tempat Al-quran, ternyata muat ya” Kata Ibu sepulang pengajian.
Isi tas sepulang pen gajian adalah arem-arem dan sosis yang biasa Ibu bawa
pulang untukku. Kalau inget rasanya pingin
nangis. Iya. Rela pengajian nggak makan snack hanya untuk diberikan
padaku. Sedih ya Alloh.
Mungkin malam itu
memang malam terakhir Ibu ikut pengajian dan memakai tas item pemberianku yang
belum pernah dipakai sama sekali. Ibu orangnya begitu, selalu nggak enakan
kalau udah dibeliin sesuatu. Kalau ditanya, kenapa nggak dipakai, jawabnya,
“Nggak enak sama orang-orang, nanti ndak diliatin”. Terlalu rendah hati banget.
Itulah Ibuku. Tak akan pernah terganti. Nggak ada yang sebaik Ibu.
Yang aku
ingat-ingat lagi, pas aku pulang kerja sebelum hari kepergiannya, Ibu Sms kalau
suruh beliin Soto karena males masak. Dan alhamdulillah kesampaian beli soto.
Yang nggak kesampaian adalah ketika
minta jagung rebus. Hari yang biasanya banyak orang jualan jagung rebus, entah
mengapa pas hari itu nggak ada orang jualan satupun. Lalu aku bilang ke Ibu;
“Buk, aku dah muter-muter
ternyata nggak ada yang jual jagung. Depan Alfamart nggak ada. Depannya Dokter
Hari juga nggak ada Buk”. Kataku sambil masukin motor.
“Yowes rapopo”.
Kata Ibu.
Dan yang papling
aku ingat adalah, hari Jumat pagi itu aku memakai baju dan celana yang paling
Ibu sukai. Ibu sempat bilang, “Baju itu sama celana itu cocok kok. Kamu bagus
pakai itu”. Ternyata itu pujian terakhir. Pujian terakhir sekaligus aku
menyaksikan kepergian Ibu. Baju dan celanannya udah nggak aku pakai lagi. Aku
nggak mau keinget kejadian paling menyedihkan dalam hidupku ini. Sebenarnya
sayang, tapi aku kalau pakai baju itu selalu inget Ibu.
Bukannya aku
lebay. Tapi ini memang berat. Tak mudah menjadi aku yang mendadak kehilangan
Ibu di waktu yang aku sendiri nggak bakalan nyangka. Tapi sudahlah. Semenyesal
apapun tidak akan membuat Ibu kembali. Semarah apapun juga aku malah jadinya
dosa. Iya. Semuanya milik Alloh. Ibu juga milik Alloh. Jadi, Alloh juga berhak
mengambil Ibu kapan saja. Akhirnya aku hanya bisa Istigfar. Mohon ampun karena
kurang Ikhlas menerima semua ini. Harus bisa tegar. Harus bisa sabar. Yakin
kalau aku bisa tanpa Ibu. Insya Alloh bisa. Hanya saja butuh waktu buat
bangkit.
Akhirnya perlahan
bisa dan aku mulai menguatkan hati buat nulis ini. Kalau aku tidak menulisnya,
aku tidak bisa fokus dengan apa yang ada di depan. Siapa tahu dengan
menumpahkan segalanya di sini, bisa meringankan unek-unek yang ingin aku
sampaikan.
Pada akhirnya,
aku harus melangkah ke depan tanpa omelan Ibu lagi. Tanpa teh manis buatan Ibu.
Tanpa kentang goreng buatan Ibu. Pulang ke rumah tanpa sambutan dan senyuman
hangat seorang Ibu. Pergi tanpa diantar Ibu dengan kata-katanya, “Hati-hati ya,
jangan lupa baca Bismillah”. Tidak ada lagi yang ngingetin, udah makan belum?
Jangan tidur kemaleman, jangan mainan hape terus, ndang bobok sesuk kan kerja
tangi isuk.
Sekecil apapun
omelan Ibu akan sangat terasa ketika Ibu sudah tidak ada. Kadang aku dulu suka
kesel kalau Ibu bilang, “Mbok jangan hapenan terus, mending bobok biar besok
bisa bangun pagi. Biat seger gitu. Daripada maian hape mbok bobok aja to yo”.
Tapi sekarang rasanya kangen banget. Nggak ada lagi yang ngomelin kayak gitu. Kerasa
banget. Sedih? You never know what I feel.
Tanpa seorang Ibu
Kira-kira
bagaimana keseharian aku tanpa Ibu? Bahkan aku nggak bisa menjelaskan seperti
apa. Ada yang beda. Banyak sekali. Yang biasanya Ibu selalu rempong ini itu,
mendadak sudah tidak ada sama sekali. Awalnya aku masih mikir kalau Ibu nggak
ada di rumah karena pergi ke pasar. Anggap saja begitu. Sebagai penenang hati,
nyatanya nggak bertahan lama. Memang sudah tidak ada. Iya, Ibu sudah meninggal.
Tolong sadarkan saya. Kadang aku masih nggak percaya.
Lebay??? Iya aku
lebay banget. Belum terbiasa. Tapi semakin ke sini semakin sadar kalau memang
Ibu milik Alloh. Suatu saat jika Alloh menghendaki, Ibu akan dipanggil.
Ternyata waktunya terlalu cepat. Sejauh ini aku nggak pernah nyangka kalau Ibu
akan meninggalkan aku secepat ini. Mungkin aku terlalu EGOIS untuk tidak
terima. Tapi akau akan sangat sangat sangat berdosa kalau aku terus-terusan
larus dalam rasa kehilangan yang tak mungkin kembali lagi.
Bagian yang
tersulit dari kehilangan adalah kenangan setiap harinya. INI HANYA BISA
DIRASAKAN OLEH ORANG YANG SUDAH KEHILANGAN IBU, terlebih aku sama Ibu sangat
dekat. Ke sana ke sini selalu aku yang nganter. Gimana kalau jadi aku? Nggak
bakal pernah merasakan apa yang aku rasakan.
Sudahlah,
menangis boleh-boleh saja. Merasa kehilangan juga boleh-boleh saja. Teringat-ingat
juga wajar. Tapi satu hal yang harus aku lakukan, yaitu Bangkit dari
keterpurukan. Bangkit setelah jatuh. Iya rasanya nggak mudah. Apalagi aku harus
mencuci baju ibu yang terakhir di pakai. Tau nggak rasanya gimana?
HANCUR.
Semakin hari aku
harus bangkit. Aku harus mengurus ini itu. Harus ngurus surat-suratnya Ibu dan
mau nggak mau harus bongkar-bongkar lemari Ibu, harus melihat kenyataan
baju-baju Ibu yang biasa dipakai dan aku nggak tahu lagi ini nantinya harus
dibagaimanakan? Harus pelan-pelan menata hati.
Kalau aku cerita
panjang lebar juga nggak bakalan selesai. Yang jelas aku harus pelan-pelan
menata hati. Butuh waktu untuk membiasakan diri tanpa seorang Ibu karna
sosoknya tak pernah tergantikan. Tak perlu disesali. Kalau aku sedih terus juga
Ibu nggak tenang di alam sana. Memang tak mudah. Tapi harus bisa.
Di akhir
kepergian Ibu, tenyata waktu memang tak mengizinkaku untuk menemaninya. Aku
sudah terlambat untuk melihat Ibu di hembusan nafasnya. Tapi di satu sisi aku
masih bisa memandikan Ibu untuk yang terakhir kalinya. Aku gosok tubuh Ibu dan
ini sebagai pertanda bakti sama Ibu. Aku menyaksikan Ibu dibungkus kain kafan
untuk pulang ke Alloh. Aku melihatnya seakan nggak percaya kalau hari itu aku
melihat Ibu untuk terakhir kalinya.
Ibu dimakamkan
keesokan harinya karena menunggu Adikku pulang dari Bandung. Malam itu aku
hanya bisa bersimpuh di bawah jenazah Ibu. Aku menemaninya sebelum akhirnya
dikebumikan. Mungkin malam Itu aku hanya bisa menemani Ibu dengan membacakan
Surat Yasin. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Sudah pasrah dengan semuanya.
Semua sudah jalan Alloh. Harus Ikhlas.
Yang aku
penasaran sampai sekarang, bagaimana Ibu melihat aku yang nangis teriak-teriak
saat aku sampai rumah menyaksikan Ibu sudah nggak ada untuk selamanya. Bagaimana
Ibu melihatku hancur seperti itu?
Semua memang
sudah digariskan. Apa yang akan terjadi di dunia ini memang sudah digariskan.
Semua sudah tertulis. Berat jika harus
berpisah selama-lamanya dengan orang yang memberikan separuh jiwanya untuk
kita, orang yang mati-matian berjuang demi kita terlahir di dunia.
Ini adalah baju terakhir yang dipakai Ibu, yang akhirnya digunting pas dimandikan. Sehari setelah pemakaman, aku cuci semuanya. Dan yang bikin aku nyesek adalah ketika selimut yang aku pakaikan terakhir kali adalah selimut hadiah pernikahan yang sering disebut ibu.
Tiap pake selimut ini, Ibu selalu bilang, Ini hadiah pernikahan lho. Umurnya lebih tua dari kamu. Sedih emang. Ternyata semua memang sudah digariskan sebegitunya. Aku baru ngeh pas nulis ini.
|
Ini selimutnya. Dulu sering diselimutkan ke aku. Trus dipakai Ibu lagi hingga saat terakhirnya. |
|
Ini baju yang dipakai Ibu pas terkahir kali. Ini juga aku belikan pas Ibu minta, "Aku mbok titip daster satu aja". sedih aku nek inget. Nggak nyangka ini jadi baju terakhirnya. |
|
Ini baju rangkepan Ibu. kalau lagi dingin, biasanya ibu pake dua baju. Katanya, biar lebih anget. Soalnya kalau pakai jaket sumuk" |
|
Ini yang dateng nyolatin Ibu pagi-pagi setelah jamaah sholat subuh. Aku dapet ini dari status WA kakakku trus tak skrinsut. |
Masih banyak sandal Ibu yang sering banget dipakai. Aku simpan ke dalam kardus. Tadinya mau aku biarkan di rak sepatu aja. Tapi aku kok inget-inget terus. Aku nek inget masih suka nyesek. Jadi aku masukin ke kardus aja.
Ibu,
Rasa terima kasih
saja kiranya tidak cukup
Aku bersyukur
masih bisa membelikan barang-barang untuk Ibu dari hasil kerjaku
Tapi semua nggak
akan cukup buat membalas perjuangan Ibu selama ini
Ibu,
Hatimu sangat
baik dan bersih
Siapapun yang
nggak suka sama Ibu selalu Ibu balas dengan kebaikan
Siapapun yang
menyepelekan Ibu selalu ibu balas dengan senyuman
Aku tahu, Alloh
pasti memberikan tempat yang paling Indah untuk Ibu
Ibu,
Kini bila aku kangen,
aku sudah tidak bisa pulang melihat senyummu
Yang bisa aku
lakukan hanya berdoa semoga Ibu selalu berada di tempat paling mulia
Terima kasih Ibu,
sebagai anak mungkin aku belum sepenuhnya membuat Ibu bahagia
Masih banyak yang
belum bisa aku lakukan untuk Ibu
Tapi semua sudah
kehendak Alloh
Ibu,
Semoga Ibu
mendapatkan tempat paling Indah di sisi Alloh
Aku hanya bisa
berdoa dan terus memperbaiki diri menjadi lebih baik dan lebih baik
Karna yang
menjadi penyelamat bagi seorang Ibu yang sudah tiada hanyalah doa anak yang
sholeh dan sholehah
Sudah lama aku
pingin nulis ini dan baru bisa sekarang. Bukannya tidak sempet tapi aku kudu
menyiapkan hati lagi agar tidak jatuh karena sedang dalam proses menata hati
menjadi seseorang yang lahir kembali, kali ini TANPA IBU.
Dari anak
perempuan yang belum sepenuhnya bisa membahayakan Ibu
Semoga mampu
mewakilim perasaab soorang anak yang kehilangan Ibunya, karna pada akhirnya
semua akan kembali ke Alloh, sang pemilik jagad raya.
~MissAnt~